PENTINGNYA UKHUWWAH
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Terwujudnya Ukhuwah Islamiyah merupakan dambaan setiap Muslim. Hanya
sayang, pengertian ukhuwah sudah menjadi kabur dan hanya merupakan
istilah global yang diucapkan berulang-ulang tanpa makna. Misalnya,
seseorang mengajak berukhuwah, namun sebentar kemudian ia sudah
memancing perseteruan dengan melancarkan cercaan kepada para ulama Ahlu
Sunnah wal Jama’ah. Padahal justru merekalah yang seharusnya menjadi
poros paling utama untuk mendapatkan ikatan ukhuwah dan kecintaan
sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terdahulu.
Tetapi demikianlah, banyak orang yang sikap dan orientasinya terkungkung
oleh opini fanatisme golongan. Bagaimanapun masalah ukhuwah
(persaudaraan) dan persatuan ini merupakan masalah yang sangat penting.
Sesungguhnya Islam sangat menekankan persaudaraan dan persatuan.
Bahkan Islam itu sendiri datang untuk mempersatukan pemeluk-pemeluknya,
bukan untuk memecah belah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, dalam
al-Ushûlus-Sittah, pada pokok yang kedua,[1] mengatakan: “Allah Azza wa
Jalla memerintahkan agar (umat Islam) bersatu di dalam agama dan
melarang berpecah belah di dalamnya. Allah Azza wa Jalla telah
menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang sangat terang dan mudah
dipahami oleh orang-orang awam. Allah Azza wa Jalla melarang kita
menjadi seperti orang-orang sebelum kita yang berpecah belah dan
berselisih dalam urusan agama hingga mereka hancur karenanya.”
Masalah persatuan ini, oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
rahimahullah diangkat sebagai masalah pokok di antara enam pokok yang
beliau rahimahullah angkat. Demikian pula, para ulama Ahlu Sunnah wal
Jama’ah pun memandang penting masalah ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn rahimahullah dalam syarahnya
terhadap kitab ini menyebutkan dalil-dalilnya dari al-Qur’ân, Sunnah,
kehidupan praktis para sahabat dan Salafus Shâlih.[2]
Adapun dalil dari al-Qur’ân, di antaranya firman Allah Azza wa Jalla:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu karena nikmat Allah, menjadilah kamu orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. [Ali Imrân/3:103]
Imam ath-Thabariy dalam tafsirnya mengatakan [3] : “Yang diinginkan
oleh Allah Azza wa Jalla dengan ayat ini ialah: Berpeganglah kalian pada
agama dan ketetapan Allah Azza wa Jalla yang dengan agama serta
ketetapan itu Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan agar kalian
bersatu padu dalam satu kalimatul haq (kebenaran) dan menyerah pada
perintah Allah Azza wa Jalla “.
Kemudian tentang firman Allah Azza wa Jalla pada ayat ini yang berbunyi:
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
dan ingatlah akan nikmat Allah Azza wa Jallaepadamu ketika dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
karena nikmat Allah, menjadilah kamu orang yang bersaudara.[Ali
Imrân/3:103]
Imam ath-Thabariy rahimahullah mengatakan: “Tafsir ayat ini ialah:
Ingatlah wahai kaum Mukminin akan nikmat Allah Azza wa Jalla yang telah
dianugerahkan kepada kalian! Yaitu manakala kalian saling bermusuhan
karena kemusyrikan kalian; kalian saling membunuh satu sama lain
disebabkan fanatisme golongan, dan bukan disebabkan taat kepada Allah
Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. (Ingatlah ketika itu!-pen) Allah Azza wa
Jalla kemudian mempersatukan hati-hati kalian dengan datangnya Islam.
Maka Allah Azza wa Jalla jadikan sebagian kalian sebagai saudara bagi
sebagian yang lain, padahal sebelumnya kalian saling bermusuhan. Kalian
saling berhubungan berdasarkan persatuan Islam dan kalian bersatu padu
di dalam Islam.[4]
Demikianlah keadaan penduduk Madinah yang secara umum dihuni dua
kabilah besar yaitu Aus dan Khazraj. Sebelum kedatangan Islam mereka
selalu saling berperang dan bermusuhan tanpa henti. Namun sesudah
kehadiran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mereka menjadi bersaudara.
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan: “Konteks firman Allah Azza
wa Jalla di atas, berkenaan dengan keadaan orang-orang Aus dan Khazraj.
Sesungguhnya pada zaman jahiliyah dua kabilah itu sangat sering terlibat
dalam pertempuran, permusuhan keras, kebencian, dengki dan dendam.
Karenanya mereka terperangkap dalam peperangan terus menerus tanpa
berkesudahan. Ketika Allah Azza wa Jalla mendatangkan Islam, maka
masuklah sebagian besar dari mereka ke dalam Islam. Akhirnya mereka
hidup bersaudara, saling menyintai berdasarkan keagungan Allah Azza wa
Jalla , saling berhubungan berlandaskan (keyakinan atas) Dzat Allah Azza
wa Jalla , dan saling tolong menolong dalam ketaqwaan serta kebaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ وَأَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا
أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para
Mukmin. Dan Allah mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).
Walaupun kamu menginfakkan segala apa yang ada di bumi, niscaya kamu
tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah yang
mempersatukan hati mereka. [al-Anfâl/8: 62-63].[5]
Berkenaan dengan Surat al-Anfâl ayat 63 yang dibawakan oleh Ibnu
Katsîr di atas, Abu ath-Thayyib Shiddîq bin Hasan al-Qanûji al-Bukhâri
(wafat 1307) dalam tafsirnya mengatakan:[6]
“Jumhur Ahli Tafsir mengatakan: ‘Yang dimaksud (dengan ayat 63 Surat
al-Anfâl) adalah orang-orang Aus dan Khazraj. Sesungguhnya dahulu mereka
terkungkung dalam fanatisme golongan yang berat, saling mengagulkan
diri, saling dikuasai kedengkian meskipun hanya dalam urusan yang paling
sepele, dan saling berperang hingga memakan waktu 120 tahun. Hampir
tidak pernah ada dua hati yang bisa saling bersatu dalam dua kabilah
tersebut. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla mempersatukan hati-hati
mereka dengan iman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Berbaliklah kondisi buruk mereka menjadi baik, bersatulah kalimat mereka
dan lenyaplah fanatisme yang ada pada mereka. Berganti pula sifat-sifat
iri mereka dengan cinta kasih karena Allah Azza wa Jalla dan di jalan
Allah Azza wa Jalla . Mereka semua sepakat untuk taat kepada Allah Azza
wa Jalla hingga jadilah mereka sebagai pembela-pembela yang berperang
untuk melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. [Ali Imrân/3:105]
Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: [7] “Yang
dimaksudkan oleh Allah Azza wa Jalla ialah: Wahai orang-orang yang
beriman! janganlah menjadi seperti orang-orang Ahli Kitab, yang berpecah
belah dan berselisih dalam agama, perintah dan larangan Allah Azza wa
Jalla , sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas
berupa bukti-bukti dari Allah Azza wa Jalla . Mereka berselisih di
dalamnya. Mereka memahami kebenaran tetapi mereka sengaja menentangnya,
menyelisihi perintah Allah Azza wa Jalla dan membatalkan ikatan
perjanjian yang dibuat oleh Allah Azza wa Jalla dengan lancang.
Orang-orang Ahlu Kitab yang berpecah belah dan berselisih dalam agama
Allah Azza wa Jalla sesudah datangnya kebenaran itu akan mendapat azab
yang berat.
Jadi maksud firman Allah Azza wa Jalla di atas adalah: “Kalian wahai
kaum mukminin, janganlah berpecah belah dalam agama kalian seperti
mereka berpecah belah dalam agama mereka. Janganlah kalian berbuat dan
mempunyai kebiasaan seperti perbuatan dan kebiasaan mereka. Sehingga
jika demikian kalian akan mendapatkan azab yang berat seperti azab yang
mereka dapatkan”
Makna yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas antara lain bahwa
kaum Muslimin dilarang berselisih pemahaman dalam masalah agama, sebab
yang demikian itu akan mengakibatkan perselisihan dan perpecahan fisik.
Imam asy-Syâthibi rahimahullah dalam al-I’tishâm menjelaskan bahwa,
perpecahan fisik (tafarruq), adalah akibat ikhtilâf (perselisihan)
mazhab dan ikhtilâf pemikiran. Itu jika kita jadikan kalimat tafarruq
bermakna perpecahan fisik. Inilah makna hakiki dari tafarruq. Namun jika
kita jadikan makna tafarruq adalah perselisihan mazhab, maka maknanya
sama dengan ikhtilâf, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.[8].
Demikianlah beberapa dalil dari al-Qur’ânul-Karîm.
Adapun dalil dari Sunnah bagi pokok yang agung ini, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ
يَحْقِرُهُ. اَلتَّقْوَى هَهُنَا. يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ
مَرَّاتٍ : بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ
الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ
وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh
tidak menzaliminya, merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Taqwa
adalah di sini. – Beliau menunjuk dadanya sampai tiga kali-. (kemudian
beliau bersabda lagi:) Cukuplah seseorang dikatakan buruk bila
meremehkan saudaranya sesama muslim. Seorang Muslim terhadap Muslim
lain; haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. [HR. Muslim][9]
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَتَبَاغَضُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki dan saling
membelakangi. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang
bersaudara[Muttafaq ‘Alai] [10]
Hadits-hadits senada sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Seorang mukmin bagi mukmin lainnya laksana bangunan, satu sama lain saling menguatkan. [Muttafaq ‘Alaihi].[11]
Dalam riwayat Bukhâri ada tambahan:
وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan jari jemari kedua tangannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang dibawakan oleh an-Nu’mân bin Basyîr Radhiyallahu anhu :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى
لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَّى. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِي
وَمُسْلِمٌ (وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ).
Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam hal saling
mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah-lembut di antara mereka
adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka
semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur. [HR.
Bukhâri dan Muslim, sedangkan lafalnya adalah lafazh Imam Muslim].[12]
Itulah beberapa dalil yang menekankan pentingnya ukhuwah dan
persatuan. Para Ulama Salaf pun sangat memperhatikan masalah ini. Syaikh
Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan tentang
pentingnya persatuan dengan mengatakan: “Sesungguhnya di antara pokok
sikap Ahlu Sunnah dalam masalah khilâfiyah ialah, bahwa selama
perselisihan pendapat itu lahir karena ijtihad (dari orang yang berhak
berijtihad-pen) dan masalahnya memang masih dalam batas yang
diperbolehkan untuk diijtihadkan, maka para Salafush-Shalih saling
memaklumi pendapat satu sama lain. Dan hal itu tidak menyebabkan adanya
kedengkian, permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan mereka
meyakini bahwa mereka harus tetap bersaudara meskipun terjadi
perselisihan pendapat di antara mereka. Seseorang yang berpendapat bahwa
memakan daging onta membatalkan wudhu’ tetap bermakmum kepada imam
shalat yang habis memakan daging onta dan yang berpendapat bahwa itu
tidak membatalkan wudhu’.”[13]
Selanjutnya beliau rahimahullah melengkapi perkataannya: “Adapun
masalah yang tidak boleh diperselisihkan di dalamnya, adalah masalah
yang menyelisihi manhaj (pola dan sunnah) para sahabat dan tabi’in.
Misalnya masalah aqidah yang ternyata banyak orang tersesat di dalamnya.
Perselisihan dalam masalah akidah ini terjadi dan berkembang pada masa
sesudah berlalunya generasi Sahabat.[14]
Jadi, pada masalah-masalah pokok yang tidak boleh diperselisihkan,
tidak ada toleransi di dalamnya; orang yang menyelisihinya berarti
menyimpang.
Demikianlah, Islam datang untuk mempersatukan umatnya, bukan untuk
memecah belah. Nash-nash di atas dan pernyataan para Salafush Shâlih
sangat jelas bahwa umat Islam dituntut untuk bersaudara dan bersatu padu
di bawah naungan Islam, dan berlandaskan prinsip-prinsip kebenaran.
Kaum Muslimin harus satu manhaj dan satu persepsi dalam memahami
al-Qur’ân dan Sunnah.
Persatuan dan persaudaraan tidak berarti mengabaikan teguran kepada
yang berbuat salah, apalagi berbuat bid’ah. Yang penting harus sesuai
dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
, baik dalam hal lemah-lembut atau dalam cara keras.
Saling ingat-mengingatkan supaya mentaati kebenaran dan menetapi
kesabaran harus tetap berjalan, sebab hal itupun merupakan perintah
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh,
dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati
supaya menetapi kesabaran. [al-Ashr/103:1-3]
Namun adalah keterlaluan jika ada seorang Muslim yang bersemangat
mengajak persaudaraan, akan tetapi kenyataannya ia malahan menjadikan
sasaran bidik caci maki, cercaan dan tuduhan salahnya kepada para ulama
serta masyarakat yang bermanhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Sebaliknya ia
malah menjalin hubungan erat atau mengagumi para ahli bid’ah dan
provokator perpecahan. Wallâhul-Musta’ân.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Sumber:
https://almanhaj.or.id/3434-pentingnya-ukhuwwah.html